MASALAH tempat duduk adalah masalah hidup dan kehidupan itu sendiri. Tempat duduk menjadi makin berarti karena ada suatu yang ada yakni tempat, perlu diduduki sehingga mendapatkan kedudukan. Tempat duduk berkedudukan tersebut adalah kursi, dalam kedudukannya kursi menjadi pemikiran agar mampu mempertahankan hidup. Dan tentunya dapat mencapai kehidupan yang lebih baik.

Dalam sejarah yang tidak perlu dikaitkan dengan kisah yang heroik ataupun duka nestapa, tempat duduk sebenarnya sudah dimulai sejak adanya makhluk. Hal ini berarti bahwa tempat duduk berbuah menjadi kedudukan, sedangkan pohonnya sesuai kesepakatan bersama bernama kursi. Berkembang dan berproses bersama-sama dengan proses perkembangan kehidupan.

Tentu anda tidak akan puas, lalu dalam benak ini berusaha untuk menciptakan suatu sistem kursi yang tidak mejadi ukuran pertahanan dan kehidupan yang lebih baik. Namun menciptakan suatu sistem kursi yang dapat memindahkan nilai-nilai kebudayaan yang dikehendaki. Dengan kata lain, sistem kursi yang benar-benar mapan dan tatanan masyarakat secara universal mengakui ke akuanmu.

Suatu kenyataan yang lebih menonjolkan alam pikiran, bukan alam pikiran Yunani ataupun alam semesta ini. Kursi yang awalnya bertujuan untuk tempat duduk, berlari untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran.

Anda tidak perlu berkecil hati, memang diri anda itu sudah kecil secara fisik. Dengan mobilitas yang cukup tinggi telah mengukir kursi secara materi. Namun, agaknya kursi itu tidak cukup membuat makmur. Jadi anda tidak perlu memaki-maki dan mengatakan bahwa dunia sekarang ini telah diselimuti beragam fasilitas kemodernan yang keblabasan oleh karena nilai-nilai moral, etika, tradisi, dan agama yang sudah rapuh. Cobalah kontrol diri anda, lalu anda akan berkata; siapa aku, dimana dan kemana aku akan pergi, apa yang menjadi tujuan hidupku.

Aku dan anda, pada selembar kertas bertuliskan kursi menjadi bebas nilai. Siapalah yang sebenarnya obyek dari semua ini, aku, anda atau kursi ini. Kalau begitu semua sama saja, bebas nilai. Pembedanya hanyalah pada fungsi berfikir, kemudian aku dan anda dikatakan sebagai binatang yang berfikir oleh karena kita dianugerahi akal. Namun pada kenyataannya anugerah yang begitu maha dasyat tersebut menimbulkan sikap yang kurang baik pada diri kita yakni sikap hidup materialisme.

Kasihan kursi tersebut, ketika kita membincang siapakah obyek. Ternyata bisa jadi kursi adalah obyek yang kita bidik, sehingga kita merasakan kepuasan karena kepuasan kita pada pemuasan materi yang ingin kita miliki.

Jangan salah paham, kita kesampingkan dulu kursi tersebut. Soal salah paham sudah menjadi kebiasaan kita, akan tetapi semakin berpenyakit jika terjadi kesalahan pemahaman yang memandang kita dan kita sendiri yang merasakannya. Karena pada kenyataanya tidak semua yang kita pikirkan dengan anugerah akal menjadi parameter rasa kita. Pada ranah yang begitu engkau menikmati seperti bergaya akademis mengatakan semua perlu dirasionalkan. Tidak semua bisa kita rasionalkan, begitu kan.

Lantas ingin bagaimana lagi. Atau berkeinginan bahwa pengetahuan ini merupakan produk dari kegiatan berfikir. Dari situlah menjadi obor penerang di tengah kegelapan mewujud peradaban yang memungkinkan kita menemukan jati diri dan menghayati hidup yang lebih mapan dan nyaman.

Begitu terangnya obor tersebut berbagai peralatan peradaban berkembang. Obor tersebut menghasilkan perubahan dari laju zaman kapak batu sampai media maya hari ini. Ini obor apa perlu dimatikan, tentu tidak bisa kita memadamkannya. Anda ingin mengambil air dan menyiramkannya, tolong hentikan dulu. Anda bisa bermasalah dengan obor itu, Ini semua sudah menyatu yang berpangkal pada berbagai masalah yang kita hadapi sendiri.

Beragam obor pemikiran yang dihasilkan ini sebagai bagian dari kesejarahan kebudayaan kita. Meski tampak besar nyala obor tersebut, namun pada hakikatnya kita memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok; apakah yang ingin kita ketahui, bagaimana cara kita memperolehnya, dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita.[1]

Apakah lantas aku akan mengajakmu membincang konsep manusia dan pengetahuan. Oh…tidak, jangan berperasangka tentang itu. Akan tetapi nikmatilah perjalanan ini, tidak membincang kursi ya, sekadar mengingatkan. Aku berpesan kepada anda bahwa sesungguhnya ini bukan kepura-puraan dan supaya kita dibilang sok intelek dan berwawasan.

Biar anda makin paham dan juga mampu memahamiku, seperti penjelasan di atas. Bahwa kesalah pemahaman tentang diri ini akan berakibat pada diri kita sendiri, karena pada dasarnya diri ini tidak hanya dirasionalkan saja. Aku dan diri anda harus mampu meyakini bahwa kita adalah manusia yakni melihat diri kita sebagai hakikat jati diri subtansi manusia itu sendiri. Pada awalnya aku akan mengatakan kepada anda bahwa kita adalah manusia yang memiliki berbagai macam keistimewaan yang berbeda dengan apa yang ada dihadapan anda, baik itu pohon pisang, mangga, kedondong, maupun rumput yang mulai tumbuh.

Lantas jangan anda berkaca pada diri anda apalagi berkaca dengan kaca orang lain, tapi berkacalah pada mahkluk di sekitar anda. Maka anda akan menemukan siapa sesungguhnya diri anda. Begitupun lantas anda bilang kepadaku sebagaimana teori-terori pengetahuan tentang manusia, bahwa manusia diberikan Tuhan anugerah terbesar berupa potensi yang sejalan dengan sifat-sifatNya. Sifat tersebut berupa unsur fitrah yang melekat pada diri manusia yakni fitrah ketauhidan karena ada tiga dimensi yang melingkupinya yaitu dimensi jasmani, rohani, dan roh. Karena anda menyatakan tiga dimensi bebeda dengan pada umumnya orang bilang bahwa manusia memiliki dua dimensi berupa jasmani yakni fisik dan rohani yakni non fisik. Namun anda memberikan pemahaman satu dimensi lagi yakni roh yang menyatakan bahwa itu bukan unsur rohani akan tetapi fitrah ketahuidan.

Tolong pahami diriku ini, atau aku memahami dirimu. Atau kita saling memahami bahwa kitalah manusia sesungguhnya. Atau sebagai dasar tentang landasan pemikitan aku dan ada. Bahwa segala yang terwujud adanya sebuah proses yakni proses penciptaan (creation ex nihilo), bukan terwujud dengan sendirinya atau tiba-tiba ada.

Aku dan ada harus saling memahami. Terutama memahami kondisi sekarang ini, antara manusia, alam dan Tuhan. Akan tetapi yang paling utama tentang diri kita sebagai sebuah landasan untuk mendapatkan tempat yang cocok. Landasan yang bertempat itu sebagai sebuah konsep tentang diri kita. Sehingga harus kuat, jelas, dan benar-benar menjadi pijakan. Yang miliki maksud kita dipandang dan ditempatkan secara benar dalam artian sesungguhnya.

* * *





[1] Jujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999)